Menelisik Lebih Jauh Akar Tindak Kejahatan Seksual

0

Berita kekerasan seksual terhadap perempuan semakin hari semakin terapung di media, yang kemudian menjadi konsumsi publik. Kita memahami bahwasannya perempuan seringkali menjadi objek kekerasan seksual, lebih miris lagi perempuan sering dijustifikasi bahwa terjadinya tindak kekerasan seksual diakibatkan oleh cara berpakaian perempuan. Kita sering mendengar pelabelan negatif pada cara berpakaian perempuan, misalnya “siapa suruh pake celana pendek”, “sengaja ya pake baju terbuka, biar laki-laki tergoda” , “makannya pake baju yang tertutup”. Begitu juga stereotype tentang perempuan yang keluar malam.

Padahal kalau kita telisik lebih jauh, cara berpakaian perempuan, serta ketika perempuan keluar malam bukanlah penyebab terjadinya tindak kekerasan seksual. Perempuan berhijab dan berpakaian tertutup sekalipun tetap berpotensi menjadi objek kekerasan seksual. Begitu juga dengan perempuan yang berdiam diri di rumah, tetap berpotensi menjadi objek kekerasan seksual dalam keluarga. Lantas di manakah akar permasalahannya?

04-RUU-PKS-3-1024×683.jpg (1024×683) (jeda.id)

Kurangnya pemahaman tentang pendidikan seksual, atau sex education kepada laki-laki dan perempuan menjadi salah satu indikator maraknya terjadi tindak kekerasan seksual. Kemudian dalam lingkup terkecil melibatkan peran orang tua dalam memberikan stimulus kepada anak akan suatu hal yang harus anak jaga, seperti nilai religi, sosial dan budaya. Umumnya sex education yang sering kita dengar tentang bagaimana anak menjaga alat vitalnya agar tidak dilihat orang lain. Sedikit penekanan dari penulis, perihal menjaga “harga diri”, bukan hanya diperuntukan bagi anak perempuan, melainkan diperuntukkan juga bagi anak laki-laki.

Di mulai dari bagaimana ia menjaga pandangannya, itu merupakan perintah langsung dari Allah swt, termaktub dalam QS. An-Nur (24) ayat 30 yang artinya “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Karena menjaga pandangan merupakan suatu tindakan yang sangat vital dan berpengaruh, ketika laki-laki dapat menjaga pandangannya dari suatu hal yang dapat menjerumuskan kepada kemaksiatan, disitu pula perempuan merasa aman, tidak ada lagi justifikasi bahwa sumber kekerasan seksual berasal dari cara berpakaian perempuan.

Selain perempuan, laki-laki juga berkewajiban untuk menjaga harga dirinya, ketika terjadi kekerasan seksual apakah hanya harga diri perempuan yang jatuh? tentu tidak, laki-laki pun akan mendapatkan sanksi sosial, minimal dilabeli sebagai laki-laki hidung belang, brengsek, bajingan, dan sumpah serapah lainnya. Dan dipertanyakan juga di mana harga dirinya. Seperti realitas yang terjadi hari ini, kita melihat berita kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki yang berposisi sentral, yaitu seorang ustadz dan dosen, yang di dalam otak kita terdoktrin sebagai figur yang bermartabat, berwibawa, disegani dan predikat baik lainnya.

Namun pada kenyataannya jabatan yang pelaku emban tidak mencerminkan harga dirinya yang lebih rendah dari sampah. (mohon maaf sedikit geram). Bagaimana penulis tidak geram seorang ustadz yang seyogyanya dapat memberi rasa aman, dan ketenangan di tengah-tengah masyarakat, namun malah menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap santri-santrinya, bahkan ada yang sampai hamil dan melahirkan.

Begitu juga dengan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswi di salah satu perguruan tinggi yang ada di provinsi Riau, yang tidak lain pelakunya adalah dosennya sendiri, sekelas dosen sekalipun tetap terlihat sampah apabila ia tidak bisa menjaga harga dirinya, melalui menjaga pandangannya, syahwatnya, serta bagaimana ia memperlakukan seorang perempuan. Maka, di sini perlu adanya penekanan antara laki-laki dan perempuan untuk saling menjaga, bukan hanya perempuan yang disuruh menjaga, sedangkan laki-laki ‘menikmati’.

Dari kacamata penulis atas kedua kasus di atas, selain terdapat unsur patriarki, juga telah terjadi ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban, yaitu ustadz dengan santri dan dosen dengan mahasiswi. Hal ini seringkali terjadi dalam suatu instansi baik dalam sektor pendidikan, pemerintahan, maupun sektor lainnya, ketika jabatan yang diemban laki-laki berada di atas perempuan, seolah-olah ia punya kuasa untuk melakukan tindakan apapun terhadap perempuan yang kedudukannya berada dibawah. Tanpa mempertimbangkan bahwasannya setinggi apapun jabatan manusia, tetap sama dihadapan Allah SWT, pun juga dengan perbedaan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan semuanya sama, mendapatkan porsi dan hak yang sama.

Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan hanya satu, yaitu tingkat ketaqwaannya. Termaktub dalam QS. Al-Hujuraat ayat 13, yang artinya; “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Kekerasan seksual yang sering terjadi akhir-akhir ini, terselip di benak penulis apakah pelaku tidak pernah berpikir kalau yang menjadi korban kekerasan seksual adalah ibunya, kakak perempuannya, adik perempuannya, atau bahkan anak perempuannya. Dari semua kejadian itu, kita dapat mengambil hikmah bahwa pemahaman akan seksual serta bahaya kekerasan seksual bukan hanya diperuntukan bagi perempuan, tetapi diperuntukan juga bagi laki-laki. Serta bagaimana peran orang tua untuk mendidik anak perempuan dan laki-lakinya tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, sehingga terhindar dari generasi yang menurunkan budaya patriarki.

Kita juga memiliki pekerjan rumah untuk menciptakan ruang aman di lingkungan sekitar, mulai dari sektor terkecil yaitu keluarga, pertemanan, sampai organisasi. Lagi-lagi, selain diperlukannya sex education, juga sangat diperlukan pemahaman tentang kesetaraan gender, yang memberikan kedudukan serta porsi yang sama antara laki-laki dengan perempuan, dapat memberi output akan timbulnya kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Terhindar dari bias gender, sehingga tidak ada lagi istilah stereotype, subordinasi, marginalisasi, budaya patriarki, dan ketimpangan relasi kuasa di mana semua itu merupakan akar dari tindak kekerasan seksual. Persoalan yang dialami perempuan inilah yang menjadi persoalan kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab kita bersama.

opini oleh Nina Rojanah.

Share on :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *