Kenaikan PPN, Positif atau Negatif Bagi Rakyat?
Selain kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP), baru-baru ini pemerintah juga berencana menetapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 menjadi 12 persen. Paling lambat 1 Januari 2025, kebijakan yang merupakan amanat konstitusi dan telah tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPN/PPnBM jo. UU HPP) akan berlaku.
PPN merupakan salah satu instrumen penting yang menjadi sumber penerimaan negara dalam urusan pajak. Tapi, mengapa pemerintah memutuskan untuk menaikkan PPN? Dalam rapat dengan komisi XI DPR, pertengahan November lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan menaikkan PPN tujuannya untuk menjaga “kesehatan” Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) setelah pandemi COVID-19. Jadi, tujuannya adalah untuk meningkatkan penerimaan negara setelah sebelumnya mengalami guncangan akibat pandemi Covid-19.
Namun, rencana kebijakan itu menuai reaksi beragam dari para pengamat ekonomi dan masyarakat. Pemerintah sendiri percaya diri bahwa menaikkan PPN tidak akan menjadi kabar buruk bagi investasi dan daya beli masyarakat. Nah, salah satu potensi dampak kebijakan ini memang dua hal di atas, menurunnya minat investasi dan menurunnya daya beli masyarakat.
Daya beli masyarakat bisa turun karena kebijakan kenaikan PPN bisa menyebabkan inflasi. Harga-harga barang menjadi naik karena kebutuhan akan produksi meningkat biayanya. Dan jika demikian, sektor industri atau UMKM pun tentunya akan terdampak. Omzet penjualan mereka barangkali bisa berkurang.
Mengenai kebijakan ini, saya melihat beberapa ahli ekonomi memang ada yang berbeda pendapat, ada yang mendukung kebijakannya sebab negara-negara lain pun melakukan hal serupa, ada juga yang menawarkan alternatif lain untuk meningkatkan penerimaan negara bukan dengan menaikkan PPN.
Secara umum, untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak memang biasanya dilakukan dengan tiga hal, pertama memperluas tax base atau jenis barang dan jasa yang dikenai pajak, tax ratio dan terakhir menaikkan PPN. Namun, tiga hal ini tidak baku. Pemerintah bisa saja menerapkan cara lain untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari pajak. Menaikkan PPN sejatinya cukup berisiko dan berpotensi memiliki dampak negatif terhadap masyarakat. Utamanya yang kelas menengah ke bawah.
Lalu, apa alternatifnya? Dalam hal ini, sejatinya pemerintah bisa lebih memaksimalkan penerimaan negara dari wajib pajak yang sudah ada. Terkadang, problematika dalam penerimaan negara dari pajak ini ada pada kepatuhan wajib pajak. Sehingga, upaya untuk lebih tegas dan melakukan pengawasan terhadap wajib pajak dengan cara-cara tertentu rasanya juga bisa mendobrak penerimaan negara dari pajak.
Seiring dengan berusaha untuk meningkatkan kepatuhan pajak, upaya reformasi perpajakan dengan meningkatkan kualitas transparansi dan seterusnya yang dilakukan oleh pemerintah juga penting. Selanjutnya, tax base pajak juga barangkali penting untuk diluaskan kepada sektor-sektor ekonomi yang berkelanjutan. Seperti sektor ekonomi hijau atau sektor ekonomi digital.
Bagi sebagian masyarakat, maksudnya kelas menengah ke atas, kenaikan PPN itu mungkin tidak akan menjadi masalah atau beban serius, tapi, bagi sebagian masyarakat yang lain, rasanya hal itu bisa menjadi beban tambahan tersendiri bagi urusan ekonomi mereka secara pribadi maupun keluarga. Karenanya, pemerintah dalam hal ini perlu mempersiapkan pertimbangan atau strategi cadangan barangkali kebijakannya itu ternyata kurang bagus.
Menaikkan PPN aslinya memang bagus untuk meningkatkan kualitas fiskal negara. Tapi, tentu saja kebijakan yang tujuannya baik ini harus diimbangi dengan strategi untuk menanggulangi dampak serta strategi untuk memanfaatkan penerimaan pajak dengan optimal dengan orientasi yang penting bagi pembangunan ekonomi masyarakat.
Penulis: Ega Adriansyah (Sekretaris LPP PC IPNU Kabupaten Cirebon)