IPPNU, untuk Perempuan Muda yang Lebih Berdaya

0

Perempuan merupakan makhluk yang Allah ciptakan sebagai pelengkap kehidupan. Ada laki-laki, ada perempuan. Seperti halnya siang yang menjadi pelengkap malam, atau matahari yang menjadi pelengkap bulan. Sama seperti laki-laki, perempuan merupakan makhluk Allah yang memiliki hak-hak hidup yang bebas. Dalam urusan ekonomi, sosial, pendidikan, bahkan politik. Namun, sejak masa jahiliah, perempuan sering kali menjadi manusia yang dianggap sebelah mata.

Di masa jahiliah, mungkin kita pernah mendengar dari berbagai referensi sejarah Islam bahwa perempuan yang lahir akan dikubur hidup-hidup. Melahirkan anak perempuan ketika itu dianggap sebagai aib bagi keluarga. Baru, ketika Rasulullah Saw, Nabi Muhammad datang, budaya mengubur bayi perempuan hidup-hidup itu dihilangkan. Ajaran Islam, mengajak kepada masyarakat waktu itu untuk memuliakan perempuan. Sebab, dalam Islam, perempuan dan laki-laki sejatinya memiliki kedudukan yang sama di mata Allah. Perbedaannya hanya terletak dalam konteks takwa.

Ketika Rasulullah datang, bukan hanya budaya mengubur bayi hidup-hidup, tetapi budaya-budaya lain di lingkungan sosial saat itu, yang merugikan perempuan sedikit demi sedikit diperbaharui. Dalam urusan waris, peran di lingkungan sosial, sampai politik. Makannya, di era sekarang, kita mungkin melihat bahwa budaya yang sering disebut patriarki itu tidak lebih parah dari masa jahiliah. Memang, di era yang sudah masuk era digital, era 4.0 (bahkan 5.0) atau era disrupsi yang teknologi dan kecenderungan sosial masyarakat mengalami perubahan ini, budaya patriarki itu masih ada dan banyak. Namun, semakin banyak juga masyarakat yang paham akan pentingnya menganggap perempuan setara dengan laki-laki dalam urusan-urusan tertentu.

Kalau kita survei ke lingkungan akar rumput, stigma terhadap perempuan sering kali ditemui dalam beberapa konteks, di antaranya pendidikan, politik, sosial dan rumah tangga. Dalam konteks pendidikan, perempuan sering dianggap tidak wajib mengaksesnya. Padahal, pendidikan menjadi hak dasar perempuan sebagai individu, atau warga negara. Di Indonesia, setiap warga negara memiliki hak pendidikan yang dijamin oleh negara. Meski pada kenyataannya masih banyak warga negara yang kesulitan mengakses pendidikan, karena biayanya yang mahal, konsep pendidikannya yang tidak terintegrasi atau berorientasi kepada dunia kerja dan seterusnya, tapi, intinya perempuan juga berhak mengakses pendidikan.

Dalam konteks politik, perempuan sering dianggap sebagai manusia yang tidak terlalu pantas untuk memimpin. Ada yang mengatakan, bahwa sifat perasa perempuan menjadi alasannya. Padahal, barangkali sifat perasa itu memang menjadi fitrah, perempuan yang kompeten dan mumpuni sebetulnya tidak ada masalah kalau kemudian menjadi pemimpin dan menduduki posisi strategis di dunia politik. Seperti menjadi presiden, gubernur, bupati/wali kota, sampai kepala desa. Di era sekarang, anggapan seperti itu memang bisa patah dengan sendirinya ketika kenyataan berkata bahwa banyak perempuan di dunia termasuk Indonesia mampu menjadi pemimpin yang baik. Di dunia, ada nama Jacinda Ardern, atau pengganti Joe Biden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) di Amerika Serikat, Hillary Clinton.

Di Indonesia, ada nama-nama seperti Khofifah Indar Parawansa, Bu Risma, Megawati dan lain-lain. Mereka merupakan pemimpin-pemimpin politik yang saya kira berhasil memegang amanah kepemimpinannya dengan baik. Selanjutnya, dalam konteks sosial, perempuan juga sering dianggap sebagai objek seksual dan dianggap tidak bisa menjadi sosok yang memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial. Namun, anggapan itu sebetulnya datang dari sifat maskulitinas laki-laki yang bisa jadi tidak ingin tersaingi oleh perempuan. Sebab nyatanya, banyak perempuan di lingkungan sosial, contohnya di Indonesia yang kemudian punya progres sosial yang bagus. Status sosialnya, entah karena latar belakang pendidikan, politik dan lainnya, cukup dipandang. Misalnya saja ada nama Najwa Shihab, Yenny Wahid dan lain-lain.

Adapun dalam konteks rumah tangga, perempuan sering kali dianggap sebagai orang yang hanya memiliki kewajiban mengurus urusan sumur, dapur dan kasur. Bahkan, tidak jarang anggapan itu akhirnya membuat banyak perempuan yang sudah berumah tangga memiliki beban ganda yang melelahkan. Padahal, prinsip rumah tangga adalah kebersamaan. Karenanya, membangun dan menciptakan kebahagiaan dalam rumah tangga sejatinya harus dilakukan secara bersama-sama, oleh suami dan istri. Perannya harus saling membantu dan mendukung satu dengan yang lain. Tapi, begitulah anggapan-anggapan negatif terhadap perempuan yang sampai sekarang masih ada.

Kaum perempuan di banyak tempat memang jangan khawatir atau merasa pesimis dengan adanya anggapan-anggapan seperti itu yang muncul karena budaya patriarki di lingkungan sosial masih kuat. Perlu ditegaskan kembali, bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Potensi di bidang pendidikan, politik dan seterusnya tadi juga sama dengan laki-laki. Dunia dan budaya dari era ke era itu semakin berkembang. Dalam konteks politik, anggapan negatif di atas sudah tidak berlaku karena semakin terbuka dan mudahnya semua orang termasuk perempuan mengakses pendidikan yang menjadi penopang jiwa kepemimpinan dan pengetahuan dalam memimpin. Begitupun dalam konteks yang lain.

Optimisme dalam memandang apa yang diinginkan, dicita-citakan dan diimpikan perlu dimiliki perempuan. Optimisme bisa menumbuhkan rasa kemauan yang kuat. Kemauan sendiri merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh siapa pun yang ingin menggapai keberhasilan dalam kehidupannya. Kemauan yang dibarengi oleh prinsip spiritualitas yang baik bisa membuat seseorang tidak mudah menyerah dan putus asa dalam melangkah dan berusaha mewujudkan keinginan. Di samping itu, kemauan dan prinsip spiritualitas yang baik juga bisa membuat seseorang tidak mudah kecewa menghadapi kegagalan atau apapun yang dia terima dari hasil ikhtiar.

Untuk memiliki optimisme dan kemauan yang dibarengi dengan prinsip spiritual (keagamaan) yang baik dan bagus untuk masa depan itu, kaum perempuan perlu memiliki kesadaran secara individu dan motivasi yang kuat untuk memilikinya. Dukungan dari lingkungan mulai dari keluarga, atau barangkali komunitas juga penting. Kalau keluarga kurang mendukung, barangkali komunitas menjadi pilihan alternatif. Ikatan Pelajar Putri Nahdatul Ulama (IPPNU) merupakan komunitas, organisasi pelajar dan sosial yang bisa menjadi pilihan bagi kaum perempuan menumbuhkan perasaan optimis dan kemauan yang kuat menggapai impian. IPPNU merupakan organisasi yang berada di bawah naungan Nahdatul Ulama (ormas agama terbesar di Indonesia).

IPPNU beranggotakan para pelajar yang rata-rata usianya berada di bawah 24 tahun. Optimisme dan kemauan yang kuat memang bagusnya dibangun oleh kaum perempuan sejak masih duduk di bangku pendidikan. Terlebih SMP dan SMA/SMK. Dengan konsep pergerakan organisasi yang mewadahi para pelajar dengan tujuan membuatnya menjadi pribadi yang bukan hanya punya progres hidup yang bagus, melainkan juga memiliki keimanan dan ketakwaan yang kokoh kepada Allah, saya kira IPPNU bisa menjadi alternatif bagi perempuan yang ingin mengubah diri menjadi pribadi yang pada intinya lebih berdaya. Secara sosial, ekonomi, pendidikan dan pemikiran.

 

Penulis: Marwah Fitriya dan Ega Adriansyah

Share on :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *